Sudah lama sekali nggak
piknik. Begitu ada yang ngajakin, selain senang tentunya juga sangat antusias
dong. Apalagi pada kesempatan kali ini bakal mengunjungi salah satu desa wisata
di lereng Gunung Merbabu yang terkenal dengan produksi susunya yang melimpah. Ada yang
tahu nggak kira-kira daerah mana? Yap, betul banget, Sumogawe.
Akhirnya, setelah menempuh perjalanan sekitar satu jam, siang itu rombongan kami yang terdiri dari dinas pariwisata Kabupaten Semarang dan bloger sampai di Desa Sumogawe, Kecamatan Getasan, Kabupaten Semarang, Jawa Tengah. Meskipun cuaca sedang panas dan terik, itu sama sekali tidak menyurutkan langkah kami untuk mengikuti serangkaian acara siang itu.
Belum tahu nanti di sana
bakal ngapain aja. Namun sepanjang perjalanan dari Ungaran, kami banyak
mendapat informasi dari Duta Wisata Kabupaten Semarang 2018, Mas Nanang yang
siang itu bertindak sebagai pemandu kami.
Seperti yang disampaikan
Mas Nanang, mayoritas masyarakat Desa Sumogawe bermata penceharian sebagai
peternak sapi perah, dalam satu rumah biasanya mereka memiliki 5-7 sapi bahkan
lebih. Mas Nanang menambahkan, dalam sehari wilayah yang berbatasan dengan
Salatiga ini mampu menghasilkan lebih dari 5 ribu ton susu segar. Wow.
Susu sapi segar yang
dihasilkan, selain dipasok ke pabrik pengolahan susu seperti Frisian Flag, juga
banyak disulap oleh warga Sumogawe menjadi berbagai macam olahan susu, seperti yoghurt, kefir,
permen susu, keripik susu, kerupuk susu, stik susu, sabun susu, dan masih
banyak lagi.
Akhirnya, setelah menempuh perjalanan sekitar satu jam, siang itu rombongan kami yang terdiri dari dinas pariwisata Kabupaten Semarang dan bloger sampai di Desa Sumogawe, Kecamatan Getasan, Kabupaten Semarang, Jawa Tengah. Meskipun cuaca sedang panas dan terik, itu sama sekali tidak menyurutkan langkah kami untuk mengikuti serangkaian acara siang itu.
Begitu sampai, kami langsung disambut
dan disalami oleh warga Dusun Sumogawe yang saat itu tengah bersuka cita
menyambut Saparan, sebuah tradisi yang masih tetap dilestarikan oleh masyarakat
Desa Sumogawe selama puluhan tahun.
Setelah itu kami lalu
dipersilakan untuk mencicipi berbagai camilan tradisional yang tersaji. Tentu
saja susu segar tidak lupa dihidangkan untuk melepas dahaga. Suasana siang itu
begitu meriah, apalagi ketika rombongan arak-arakan yang terdiri dari pria,
wanita, baik anak-anak maupun dewasa yang semuanya mengenakan pakaian
tradisional diikuti beberapa kesenian datang membawa aneka gunungan hasil bumi,
seperti buah-buahan, dan sayur-sayuran. Tidak ketinggalan nasi tumpeng dan iwak
ingkung.
Kemudian segenap peserta
yang mengikuti kirab budaya berkumpul di depan panggung utama untuk berdoa
bersama dan menyantap tumpeng dan masakan yang dibawa tadi. Acara Saparan ini
bermakna sebagai wujud rasa syukur kepada Tuhan Yang Maha Kuasa atas limpahan
karunia kepada segenap warga Desa Sumogawe.
Sembari menikmati hidangan,
para tamu undangan, dan masyarakat desa dihibur dengan tari tradisional khas Kabupaten
Semarang, yaitu Tari Prajuritan. Tarian yang dipadukan dengan gerakan beladiri
ini menggambarkan perjuangan para parjurit Pangeran Diponegoro dalam melawan
penjajahan Kolonial Belanda.
Setelah ishoma, para peserta
one day trip siang itu kembali berkumpul. Kami lalu dibagi menjadi beberapa
kelompok yang terdiri dari 5 orang. Masing-masing ditemani oleh pemandu dari
pokdarwis Kennyusu. Siang itu kami diajak untuk mengetahui lebih jauh mengenai apa
itu tradisi Saparan. Menurut Mas Surya yang memandu kami, Saparan ini merupakan
tradisi yang rutin diselenggarakan pada hari pasaran Senin Legi di bulan Sapar setiap
tahunnya, yang hari itu jatuh pada tanggal 28 Oktober 2019.
Saparan diawali dengan
merti dusun, dan kirab budaya. Dilanjutkan dengan saling berkunjung ke
rumah-rumah warga. Pada hari itu, semua warga libur untuk menyambut setiap tamu
yang akan datang. Saparan ini juga tidak berlangsung bersamaan antara dusun
satu dengan dusun lainnya, agar warga dusun bisa saling datang berkunjung untuk
memperpanjang silaturahmi dan kekerabatan.
Dengan ramah, tuan rumah menyalami,
dan menyambut kedatangan rombongan kami. Toples-toples dan piring yang penuh
dengan makanan tersaji di hadapan kami untuk dinikmati sambil berbincang santai. Suasananya benar-benar mirip dengan idulfitri,
bahkan lebih ramai lagi kata pemandu kami. Dan seperti lazimnya saat lebaran, sebelum
berpindah ke rumah berikutnya, kami tidak diizinkan beranjak jika belum
menyantap berbagai hidangan lezat yang telah disediakan di ruang makan. Padahal
perut sudah terisi penuh. Namun untuk menghormati tuan rumah, nggak baik
rasanya menolak ajakannya.
Memang beginilah esensi
dari Saparan, selain sebagai bentuk rasa syukur ke hadirat Tuhan, Saparan juga
sekaligus sebagai ajang silaturahmi untuk mempererat tali persaudaraan dan
kebersamaan. Siapapun yang datang akan diperlakukan sama, dan disambut dengan
hangat.
Sebelum mengakhiri
kunjungan kami di Desa Sumogawe, kami diajak melihat salah satu peternakan sapi
perah yang sekaligus sebagai tempat penampungan susu di Sumogawe. Kami juga
diajak untuk melihat demo cara pembuatan keju mozzarella di Dusun Magersari.
Ternyata gampang-gampang susah buat membikin keju mozzarella ya. Di sana
bertambah lagi deh pengetahuanku tentang susu, dan keju.
Di samping itu, dijelaskan
pula asal-usul, dan sejarah Desa Sumogawe. Sumogawe sendiri berasal dari 2 nama
pendirinya yang merupakan pasangan suami istri, yaitu Kyai Sumokerti, dan Nyai
Gawe. Desa Sumogawe ini juga dulunya adalah tempat persinggahan bagi prajurit
Pangeran Diponegoro yang kemudian menetap di sana.
Sore itu kami harus
menyudahi perjalanan kami di Desa Sumogawe. Kalau ada kesempatan pengin banget suatu
saat balik ke sana lagi.
Meriahnya Tradisi Saparan di Kampung Susu Sumogawe
Reviewed by Achmad Muttohar
on
11/04/2019 01:05:00 AM
Rating:
Tidak ada komentar: